BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ilmu kalam
sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Di dalam
ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang perbandingan antara teologi-teologi
serta ajaran-ajarannya.Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat
mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran
yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khawarij dan Syiah kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal
dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang
tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga
banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk kedalam aliran yang
berbeda-beda
Dalam
makalah ini aliran yang akan dibahas adalah ALIRAN MU’TAZILAH, yang pada
hakikatnya Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir,seperti perbedaan pandangan pada
aliran Khawarij dan Murji’ah. Kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal,
yaitu al-Manzilah Bainal Manzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut
Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya
meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka
selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari
pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
Mu'tazilah, seperti Wastil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu
dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Untuk
memperdalam ajaran pokok pada aliran Mu’tazilah, penulis mencoba menyusun
makalah dengan judul “Theologi Aliran Mu’tazilah”.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2.
Bagaimana sejarah
penamaan Mu’tazilah?
3.
Apa ajaran
pokok aliran Mu’tazilah ?
4.
Siapa saja
tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah
2.
Mengetahui
ajaran pokok aliran Mu’tazilah
3.
Mengetahui
para tokoh aliran Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah muncul
di kota Bashrah, Irak pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin
Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali. Kemunculan
aliran ini adalah karena Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir tetapi ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus
mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut
antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para pengikut mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah mereka
benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
B.
Sejarah
penamaan aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna orang-orang
yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa
dipisahkan dengan sosok Al-Hasan
Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata suatu hari datanglah seorang
laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata “Wahai imam dalam agama,
telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam
madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan
ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan
Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau
menjawab, tiba-tiba Washil bin Atha’berkata “Menurutku pelaku dosa besar bukan
seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan
di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya
tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri
berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para
pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh
Al-Hasan Al-Bashri “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik)
adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih
disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun
menjadi tidak sempurna)”.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada
kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat Washil bin Atha
dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan yang disebut Mu’tazilah pada
waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian
sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu
Thalhah dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Tholib di lain
pihak, juga antara Ali dengan Muawiyyah. Peristiwa itu muncul karena
perselisihan atas pembunuhan khalifah Utsman bin Affan dan karena pro dan
kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersikap bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan hidup sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian itu mengatakan
,”Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang bertikai , melainkan kedua-duanya
bisa salah, sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama
hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Jika kedua golongan
menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i’tazalna).”
Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai
dalam buku-buku sejarah. Al-Thabari umpamanya menyebutkan saat Qais Ibn Sa’ad
sampai di Mesir sebagai gubernur pada zaman Ali in Abi Thalib, ia menjumpai
pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi melarikan
diri ke Kharbita (i’tazalat ila Khabita). Dalam suratnya yang ia kirimkan
kepada khalifah, Qais menamai mereka Mu’tazilin, Abu al-fida menyebutnya
Mu’tazilah.
Menurut al-Baghdadi Wasil dan temannya Amr ibnu Ubaid ib
Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara
mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya
disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam
tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak
mu’min dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian
nama Mu’tazilah kepada golongan ini.
Menurut Tasy Kubra Zadah menyebutkan bahwa Qatadah ibnu
Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid Basrah dan menuju ke majlis Amr ibnu
Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya
bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu,
sambil berkata “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu , kata Tasy Kubra Zadah
mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Sebetulnya masih banyak pendapat mengenai penamaan Mu’tazilah. Kami dapat
menyimpulkan, bahwa kata Mu’tazilah dapat berarti Memisahkan atau
sebagai penetral.
C.
Ajaran-ajaran
Pokok Aliran Mu’tazilah
Ada lima
pokok ajaran (al-Ushul al-Khomsah) yang menjadi prinsip utama aliran
Mu’tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut adalah:
1.
At-Tauhid (ke-Maha
Esaan Allah)
Ajaran dasar
yang terpenting bagi kaum Mu’tazilah adalah at-Tauhid. Bagi Mu’tailah
hanya Allah SWT yang maha esa, konsep ini mereka anggap paling murni sehingga
senang disebut sebagai Ahl Al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan
paham ke-Esaan Allah SWT, kelompok Mu’tazilah menolak semua sifat-sifat Allah
SWT dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan, maka mereka sering
disebut golongan Nafi as-Sifat. Tuhan bagi mereka tetap Maha Mengetahui, Maha
Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dsb itu bukan sifatnya
melainkan dzat-Nya (esensi Tuhan). Oleh karena itu, Mu’tazilah menolak faham Antropo-morfisme
(menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya), seperti mempunyai tangan dan
muka.
Ayat-ayat
yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik
(ayat-ayat Tajassum) harus ditakwilkan sedemikian rupa. Faham ini
juga menolak beatific vision (Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata
kepalanya) diakhirat nanti. Dengan dasar tauhid ini, mereka menetapkan bahwa
Al-Quran adalah makhluk (diciptakan) Allah SWT, dimaksudkan untuk mencegah
berbilangnya yang Qadim dan menafikan sifat al-Kalam (berkata-kata) dari Allah
yang diyakini banyak penganut faham Mu’tazilah.
Terhadap
faham Antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil pada ayat-ayat yang secara
lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut
pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja pemindahan arti
ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetai merujuk kepada konteks kebahasaan
yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan
disini misalnya, kata-kata tangan (Q.S Shad: 75) yang artinya:
“ Allah
berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang
telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri
ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".
Dan
pada Q.S al-Maidah : 64 yang artinya:
“
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka;
Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran
bagi kebanyakan di antara mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan
kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api
peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan
Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”
Sementara itu,
penolakan kaum Mu’tazilah terhadap pendapat Tuhan dapat dilihat oleh mata
kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap Antromorpisme.
Tuhan adalah immateri tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan
waktu dan tidak berbentuk.
2.
Al- Adl ( Keadilan)
Faham keadilan
Tuhan dalam ajaran Mu’tazilah mengandung
pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat dzalim kepada
hambanya. Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba,
tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan. Dan yang dilarang dengan
kudrah (daya) yang diberikan dan diletakkan Allah kepada mereka. Kemudian
timbul ajaran as-salah wa al-aslah. Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik
bahkan yang terbaik bagi manusia, diantaranya Tuhan tidak boleh memberi beban
yang terlalu berat kepada manusi, Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan Nabi-Nabi
untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Tuhan wajib memberikan daya
pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan prinsip keadilan, mereka menetapkan bahwa
manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya dan Allah mustahil bersifat
lemah. Allah yang menciptakan dan menetapkan qudrah terhadap manusia. Allah
memberi qudrah kepada manusia untuk menyempurnakan taqlif (beban tanggung
jawab). Faham keadilan ini mereka gunakan untuk menolak faham jabariyah yang
menyatakan bahwa seorang hamba tidak bebas dalam melaksanakan
perbuatan-perbuatannya. mereka menganggap siksaan terhadap ketidak bebasan
merupakan suatu ke zaliman karena tidak ada artinya memerintahkan suatu
perintah kepada seseorang tetapi kemudian ia terpaksa untuk melawan perintah
itu, atau dilarang melakukan sesuatu, tetapi ia terpaksa untuk melakukan
perbuatan yang dilarang itu.
3. Al-Wa’ad
wa al-Wa’id (janji dan ancaman).
Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang ke dua
tentang keadilan Tuhan. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa tuhan pasti akan memberikan
pahaladan akan menjatuhkan siksa kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka,
Tuhan tidak dikatakan adil jika ia tidak memberikan pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki
supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik
diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjiakan Tuhan.
Pendirian ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang
berpendapat bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tidak mempunyai
kaitan dengan perbuatan. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan
tidak akan ada artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karna itu kaum
Mutazilah mengingkari adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat, karena
syafaat menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.
4. Al-
Manzilah Bainal Manzilataini (posisi diantara dua posisi)
Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan
Tuhan. Pembuat dosa bukanlah kafir, karena mereka percaya kepada Allah dan
Rasulnya, tetapi mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tida lagi
sempurna. Karena bukan mukmin, para pembuat dosa besar tidak dapat masuk syurga
dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka ditempatkan
di antara syurga dan neraka.akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat
selain syurga dan neraka, maka mereka harus dimasukkan kedalam salah satu
tempat ini. Penempatan ini bagi kaum Mu’tazilah berkaitan dengan faham
Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan,
tetapi juga perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman, tidak
pula kafir seperti yang disebut terdahulu. Berawal dari jalan tengah yang di
ambil untuk menetukan posisi seseorang yang melakukan dosa besar, kemudian
berlaku juga dalam bidang lain.
Berdasarkan sumber-sumber keIslaman dari filsafat Yunani, kaum Mu’tazilah lebih memperdalam
pemikirannya mengenai jalan tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam lapangan
berfikir (ratio). Prisip jalan tengah ini nampak jelas dalam usaha mereka untuk
mempertemukan agama dalam filsafat.
5. Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar (menyuruh berbuat baik dan menyuruh melarang berbuat buruk)
Mengenai hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan
pendapat golongan-golongan umat Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaannya, apakah seruan
untuk berbuat baik, dan larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak atau
dengan kekerasan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan
larangan berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi
sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekeresan. Dalam sejarah, mereka menggunakan
kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum Mu’tazilah, orang-orang
yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus diluruskan.
Pandangan kaum Mu’tazilah
yang terlalu menitikberatkan penggunaan akal pikiran (ratio) dinilai oleh
sebagian umat Islam bahwa mereka meragukan bahkan tidak percaya akan kedudukan
wahyu.
D. Tokoh-tokoh
Aliran Mu’tazilah
1. Wasil
bin Atha (800- 131 H)
Wasil bin Atha al-Ghazal
terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinnya yang
pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip
pemikirannya Mu’tazilah yang rasional.
2. Al-Allaf
(135-235 H)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu al-Huzail
al-Allaf. Disebut Allaf, karena dia tinggal dikampung penjual makanan
binatang(alaf=makanan binatang) ia sebagai pemimpin Mu’tazilah yang ke dua di
Basrah. Ia banyak mmpelajari filsafat Yunani pengetahuannya tenang filsafat
memuudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar ajaran Mu’tazilah secara
teratur. Pengetahuan tentang logika membuat ia menjadi ahli debat lawannya dari
golongan Zindik (orang yang pura-pura masuk Islam), dari kalangan
Majusi, Zoroaster dan atheis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut
riwayat, tiga ribu orang masuk Islam ditangannya. Puncak kebesarannya dicapai
pada masa khalifah al-Makmun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.
3. Bisyir
al-Mu’tamar (wafat 226 H)
Dia adalah pemimpin aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangannya
yang luas mengenai kesusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia orang yang pertama menyusun
ilmu Balagoh. Ia adalah seorang tokoh aliran ini yang membahas konsep Tawallud
(reproduction) yaitu batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya.
Bisyir mempunyai murid-murid yang besar pengaruhnya dalam penyebaran anggota
Mu’tazilah, khusunya di Baghdad.
4. An-Nazham
(184-221 H)
Namanya adalah Ibrahim
bin Sayyar bin Hani an-Nazham, Ia muridnya Ibrahim
al-Allaf. Dia juga bergaul dengan para filosof. Pendapatnya banyak berbeda
dengan aliran Mu’tazilah lainnya. An-Nazham memiliki ketajaman berfikir yang
luar biasa, antara lain tentang metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal
renaisance (pembangkirtan) di Eropa.
5. Al-Jubba’i
(302 H)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Jubbai.
Sebutan al-Jubbai diambil dari tempat
kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di profinsi Chuzestan- Iran.
Al-Jubbai adalah guru Imam al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asyiariyyah.
Ketika al-Asyari keluar dari barisan Mu’tazilah dan menyerang pendapatnya, ia
membalas serangan al-Asyari tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran
al-Quran banyak diambil oleh al-Zamakhsyari. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Hasyim
al-Jubbai mencerminkan akhir kejayaan aliran Mu’tazilah.
6. Al-Khayyat
(wafat 300 H)
Abu al-Husein al-Khayyat termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad.
Bukunya yang berjudul Al-Intisyar berisi pembelaan aliran Mu’tazilah dari
serangan ibn ar-Rowandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Al-Qadhi
Abdul Jabar (wafat 1024 H)
Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abd. Diantara
karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah.
Karangan tersebut demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan al-Mughni.
Al-Qadhi Abdul Jabar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran
Mu’tazilah namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam
jabatan kenegaraan.
8. Al-Zamakhsyari
(467-538 H)
Nama lengkapnya Zarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar. Dia
dilahirkan didesa Zamakhsyar, Kharazim, Iran. Sebutan Zaruloh artinya tetangga
Allah, karena beliau lama tinggal dimekkah dekat Ka’bah. Ia terkenal sebagai
tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (gramatika) dan paramasastra (lexiologi). Dalam
karangannya ia dengan terang-terang menonjolkan paham Mu’tazilah, misalnya
dalam kitab tafsir al-Kasyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat al-qur’an berdasarkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama 5 prinsip ajarannya.
Selain itu kitab al-Kasyaf di uraikan dalam ilmu balaghah yang
tinggi, sehingga para mufasirin banyak yang menggunakannya hari ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Mu’tazilah muncul di kota Bashrah, Irak pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah
seorang penduduk Bashrah mantan murid Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali.
2.
Kata Mu’tazilah muncul dari peristiwaWasil dengan hasan
Basri mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil
menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut pendapat Al-Mas’udi bahwa
ke-Mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupaka sifat orang yang berbuat dosa
besar, yang sifat atau nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat
demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah muncul disekitar
pertikaian antara Ali dan Muawiyyah. Golongan yang tidak ikut bertikai
mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus dijauhi
(i’tazalna). Ini adalah sejarah penamaan Mu’tazilah yang termasyhur dalam ilmu
kalaam.
3.
Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah adalah: At-Tauhid (ke Maha
Esaan Tuhan), al- Adl ( Keadilan), Al-Wa’d wal Wa’id (Janji dan
ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)
dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (
Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat).
4.
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah adalah: Wasil bin Atha, Abdul Huzail
bin Huzail al-allaf, Bisyir al-Mu’tamar , Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazham,Abu Ali
Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Jubbai, Abu al-Husein al-Khayyat, Al-Qadhi Abdul
Jabar,Zarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar.