Jumat, 27 Februari 2015

aliran mu'tazilah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang perbandingan antara teologi-teologi serta ajaran-ajarannya.Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khawarij dan Syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk kedalam aliran yang berbeda-beda
Dalam makalah ini aliran yang akan dibahas adalah ALIRAN MU’TAZILAH, yang pada hakikatnya Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir,seperti perbedaan pandangan pada aliran Khawarij dan Murji’ah. Kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-Manzilah Bainal Manzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti Wastil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Untuk memperdalam ajaran pokok pada aliran Mu’tazilah, penulis mencoba menyusun makalah dengan judul “Theologi Aliran Mu’tazilah”.
B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2.       Bagaimana sejarah penamaan Mu’tazilah? 
3.      Apa ajaran pokok aliran Mu’tazilah ?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah
2.      Mengetahui ajaran pokok aliran Mu’tazilah
3.      Mengetahui para tokoh aliran Mu’tazilah




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah muncul di kota Bashrah, Irak pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali. Kemunculan aliran  ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir tetapi ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para pengikut mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah  mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

B.     Sejarah penamaan aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok   Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba Washil bin Atha’berkata “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna)”.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat Washil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan yang disebut Mu’tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Tholib di lain pihak, juga antara Ali dengan Muawiyyah. Peristiwa itu muncul karena perselisihan atas pembunuhan khalifah Utsman bin Affan dan karena pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu bersikap bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam  persoalan hidup sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian itu mengatakan ,”Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang bertikai , melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Jika kedua golongan menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i’tazalna).”
Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Thabari umpamanya menyebutkan saat Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai gubernur pada zaman Ali in Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi melarikan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Khabita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada khalifah, Qais menamai mereka Mu’tazilin, Abu al-fida menyebutnya Mu’tazilah.
Menurut al-Baghdadi Wasil dan temannya Amr ibnu Ubaid ib Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak mu’min dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.
Menurut Tasy Kubra Zadah menyebutkan bahwa Qatadah ibnu Da’amah pada suatu hari masuk kemesjid Basrah dan menuju ke majlis Amr ibnu Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu , kata Tasy Kubra Zadah mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Sebetulnya masih banyak pendapat  mengenai penamaan Mu’tazilah. Kami dapat menyimpulkan, bahwa kata Mu’tazilah dapat berarti Memisahkan atau sebagai penetral.

C.    Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu’tazilah
Ada lima pokok ajaran (al-Ushul al-Khomsah) yang menjadi prinsip utama aliran Mu’tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut adalah:
1.        At-Tauhid (ke-Maha Esaan Allah)
Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu’tazilah adalah at-Tauhid. Bagi Mu’tailah hanya Allah SWT yang maha esa, konsep ini mereka anggap paling murni sehingga senang disebut sebagai Ahl Al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham ke-Esaan Allah SWT, kelompok Mu’tazilah menolak semua sifat-sifat Allah SWT dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan, maka mereka sering disebut golongan Nafi as-Sifat. Tuhan bagi mereka tetap Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dsb itu bukan sifatnya melainkan dzat-Nya (esensi Tuhan). Oleh karena itu, Mu’tazilah menolak faham Antropo-morfisme (menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya), seperti mempunyai tangan dan muka.
      Ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik  (ayat-ayat Tajassum) harus ditakwilkan sedemikian rupa. Faham ini juga menolak beatific vision (Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya) diakhirat nanti. Dengan dasar tauhid ini, mereka menetapkan bahwa Al-Quran adalah makhluk (diciptakan) Allah SWT, dimaksudkan untuk mencegah berbilangnya yang Qadim dan menafikan sifat al-Kalam (berkata-kata) dari Allah yang diyakini banyak penganut faham Mu’tazilah.
      Terhadap faham Antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil pada ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja pemindahan arti ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetai merujuk kepada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini misalnya, kata-kata tangan (Q.S Shad: 75) yang artinya:
“ Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".

Dan pada Q.S al-Maidah : 64 yang artinya:

“ Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”


      Sementara itu, penolakan kaum Mu’tazilah terhadap pendapat Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap Antromorpisme. Tuhan adalah immateri tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu dan tidak berbentuk.
2.       Al- Adl ( Keadilan)
 Faham keadilan Tuhan dalam ajaran Mu’tazilah  mengandung pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil berbuat dzalim kepada hambanya. Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan. Dan yang dilarang dengan kudrah (daya) yang diberikan dan diletakkan Allah kepada mereka. Kemudian timbul ajaran as-salah wa al-aslah. Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia, diantaranya Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusi, Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan Nabi-Nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Tuhan wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan prinsip keadilan, mereka menetapkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya dan Allah mustahil bersifat lemah. Allah yang menciptakan dan menetapkan qudrah terhadap manusia. Allah memberi qudrah kepada manusia untuk menyempurnakan taqlif (beban tanggung jawab). Faham keadilan ini mereka gunakan untuk menolak faham jabariyah yang menyatakan bahwa seorang hamba tidak bebas dalam melaksanakan perbuatan-perbuatannya. mereka menganggap siksaan terhadap ketidak bebasan merupakan suatu ke zaliman karena tidak ada artinya memerintahkan suatu perintah kepada seseorang tetapi kemudian ia terpaksa untuk melawan perintah itu, atau dilarang melakukan sesuatu, tetapi ia terpaksa untuk melakukan perbuatan yang dilarang itu.
3.      Al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman).
Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang ke dua tentang keadilan Tuhan. Kaum Mu’tazilah yakin bahwa tuhan pasti akan memberikan pahaladan akan menjatuhkan siksa kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil jika ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjiakan Tuhan.
      Pendirian ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tidak mempunyai kaitan dengan perbuatan. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karna itu kaum Mutazilah mengingkari adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafaat menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.
4.      Al- Manzilah Bainal Manzilataini (posisi diantara dua posisi)
Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan. Pembuat dosa bukanlah kafir, karena mereka percaya kepada Allah dan Rasulnya, tetapi mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tida lagi sempurna. Karena bukan mukmin, para pembuat dosa besar tidak dapat masuk syurga dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka ditempatkan di antara syurga dan neraka.akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat selain syurga dan neraka, maka mereka harus dimasukkan kedalam salah satu tempat ini. Penempatan ini bagi kaum Mu’tazilah berkaitan dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan, tetapi juga perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman, tidak pula kafir seperti yang disebut terdahulu. Berawal dari jalan tengah yang di ambil untuk menetukan posisi seseorang yang melakukan dosa besar, kemudian berlaku juga dalam bidang lain.
Berdasarkan sumber-sumber keIslaman dari filsafat Yunani,  kaum Mu’tazilah lebih memperdalam pemikirannya mengenai jalan tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prisip jalan tengah ini nampak jelas dalam usaha mereka untuk mempertemukan agama dalam filsafat.
5.      Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (menyuruh berbuat baik dan menyuruh  melarang berbuat buruk)
Mengenai hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongan-golongan umat Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan  hanya pada segi pelaksanaannya, apakah seruan untuk berbuat baik, dan larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekeresan. Dalam sejarah, mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum Mu’tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus diluruskan.


Pandangan kaum Mu’tazilah yang terlalu menitikberatkan penggunaan akal pikiran (ratio) dinilai oleh sebagian umat Islam bahwa mereka meragukan bahkan tidak percaya akan kedudukan wahyu.
D.    Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
1.      Wasil bin Atha (800- 131 H)
Wasil  bin Atha al-Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinnya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan prinsip pemikirannya Mu’tazilah yang rasional.
2.      Al-Allaf (135-235 H)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu al-Huzail al-Allaf. Disebut Allaf, karena dia tinggal dikampung penjual makanan binatang(alaf=makanan binatang) ia sebagai pemimpin Mu’tazilah yang ke dua di Basrah. Ia banyak mmpelajari filsafat Yunani pengetahuannya tenang filsafat memuudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar ajaran Mu’tazilah secara teratur. Pengetahuan tentang logika membuat ia menjadi ahli debat lawannya dari golongan Zindik (orang yang pura-pura masuk Islam), dari kalangan Majusi, Zoroaster dan atheis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut riwayat, tiga ribu orang masuk Islam ditangannya. Puncak kebesarannya dicapai pada masa khalifah al-Makmun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.
3.      Bisyir al-Mu’tamar (wafat 226 H)
Dia adalah pemimpin aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangannya yang luas mengenai kesusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia orang yang pertama menyusun ilmu Balagoh. Ia adalah seorang tokoh aliran ini yang membahas konsep Tawallud (reproduction) yaitu batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya. Bisyir mempunyai murid-murid yang besar pengaruhnya dalam penyebaran anggota Mu’tazilah, khusunya di Baghdad.
4.      An-Nazham (184-221 H)
Namanya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazham, Ia muridnya Ibrahim al-Allaf. Dia juga bergaul dengan para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu’tazilah lainnya. An-Nazham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang metode keraguan (method of doubt)  dan metode empirika yang merupakan cikal bakal renaisance (pembangkirtan) di Eropa.
5.      Al-Jubba’i (302 H)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Jubbai. Sebutan al-Jubbai  diambil dari tempat kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di profinsi Chuzestan- Iran. Al-Jubbai adalah guru Imam al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asyiariyyah. Ketika al-Asyari keluar dari barisan Mu’tazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas serangan al-Asyari tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran al-Quran banyak diambil oleh al-Zamakhsyari. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Hasyim al-Jubbai mencerminkan akhir kejayaan aliran Mu’tazilah.
6.      Al-Khayyat (wafat 300 H)
Abu al-Husein al-Khayyat termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad. Bukunya yang berjudul Al-Intisyar berisi pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan ibn ar-Rowandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7.      Al-Qadhi Abdul Jabar (wafat 1024 H)
Ia diangkat sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abd. Diantara karyanya yang besar adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Karangan tersebut demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan al-Mughni. Al-Qadhi Abdul Jabar termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah namun ia mampu berprestasi baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.

8.      Al-Zamakhsyari (467-538 H)
Nama lengkapnya Zarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar. Dia dilahirkan didesa Zamakhsyar, Kharazim, Iran. Sebutan Zaruloh artinya tetangga Allah, karena beliau lama tinggal dimekkah dekat Ka’bah. Ia terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (gramatika) dan paramasastra (lexiologi). Dalam karangannya ia dengan terang-terang menonjolkan paham Mu’tazilah, misalnya dalam kitab tafsir al-Kasyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat al-qur’an berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama 5 prinsip ajarannya.
Selain itu kitab al-Kasyaf di uraikan dalam ilmu balaghah yang tinggi, sehingga para mufasirin banyak yang menggunakannya hari ini.














BAB III
PENUTUP
            KESIMPULAN
1.      Mu’tazilah muncul di kota Bashrah, Irak pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzali.
2.      Kata Mu’tazilah muncul dari peristiwaWasil dengan hasan Basri mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut pendapat Al-Mas’udi bahwa ke-Mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupaka sifat orang yang berbuat dosa besar, yang sifat atau nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah muncul disekitar pertikaian antara Ali dan Muawiyyah. Golongan yang tidak ikut bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus dijauhi (i’tazalna). Ini adalah sejarah penamaan Mu’tazilah yang termasyhur dalam ilmu kalaam.
3.      Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah adalah: At-Tauhid (ke Maha Esaan Tuhan), al- Adl ( Keadilan), Al-Wa’d wal Wa’id (Janji dan ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi) dan  Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ( Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat).
4.      Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah adalah: Wasil bin Atha, Abdul Huzail bin Huzail al-allaf, Bisyir al-Mu’tamar ,  Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazham,Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Jubbai, Abu al-Husein al-Khayyat, Al-Qadhi Abdul Jabar,Zarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar.